Dalam karya ini, Angga Pradinata menuangkan keresahannya terhadap kondisi lingkungan melalui figur perempuan yang menyatu dengan pohon, sebagai simbol Ibu Bumi yang merasakan langsung derita kerusakan alam. Gambar ini tidak hanya menyentuh aspek visual, tapi juga menyuarakan jeritan batin dari semesta yang terabaikan.
Pohon dalam lukisan dibagi menjadi dua sisi: satu berwarna biru gelap yang tenang, sejuk, dan damai. Simbol masa ketika bumi masih hidup dalam keseimbangan; dan satu lagi berwarna merah menyala. Melambangkan api kehancuran, polusi, dan konflik ekologis.
Akar pohon menjalar ke tanah putih sebagai representasi fondasi kehidupan, namun cabang-cabang yang gersang dan tanpa daun menunjukkan realitas menyakitkan: alam yang kian kehilangan daya hidupnya. Satu titik merah yang tertinggal di antara ranting menjadi lambang harapan kecil kehidupan yang masih bertahan meski nyaris punah.
Karya ini mencerminkan pertanyaan eksistensial: Apakah manusia masih sanggup menjadi penjaga, atau justru tetap menjadi perusak bumi? Bagi Angga, lukisan ini adalah bentuk kesaksian dan seruan moral. Ibu Bumi menangis bukan hanya karena luka yang telah ditorehkan, tapi juga karena cinta dan harapan yang masih tersisa, bahwa manusia bisa berubah dan menyembuhkan dunia.
Dalam karya ini, Angga Pradinata menuangkan keresahannya terhadap kondisi lingkungan melalui figur perempuan yang menyatu dengan pohon, sebagai simbol Ibu Bumi yang merasakan langsung derita kerusakan alam. Gambar ini tidak hanya menyentuh aspek visual, tapi juga menyuarakan jeritan batin dari semesta yang terabaikan.
Pohon dalam lukisan dibagi menjadi dua sisi: satu berwarna biru gelap yang tenang, sejuk, dan damai. Simbol masa ketika bumi masih hidup dalam keseimbangan; dan satu lagi berwarna merah menyala. Melambangkan api kehancuran, polusi, dan konflik ekologis.
Akar pohon menjalar ke tanah putih sebagai representasi fondasi kehidupan, namun cabang-cabang yang gersang dan tanpa daun menunjukkan realitas menyakitkan: alam yang kian kehilangan daya hidupnya. Satu titik merah yang tertinggal di antara ranting menjadi lambang harapan kecil kehidupan yang masih bertahan meski nyaris punah.
Karya ini mencerminkan pertanyaan eksistensial: Apakah manusia masih sanggup menjadi penjaga, atau justru tetap menjadi perusak bumi? Bagi Angga, lukisan ini adalah bentuk kesaksian dan seruan moral. Ibu Bumi menangis bukan hanya karena luka yang telah ditorehkan, tapi juga karena cinta dan harapan yang masih tersisa, bahwa manusia bisa berubah dan menyembuhkan dunia.