June 9, 2025
Cerita untuk Cipta: Narasi Empatik sebagai Senjata Perubahan Sosial dan Lingkungan
June 9, 2025
Cerita untuk Cipta: Narasi Empatik sebagai Senjata Perubahan Sosial dan Lingkungan

Nicholas Saputra, Aktor dan aktivis lingkungan
Memang sulit untuk membuat satu isu spesifik bisa relevan dengan jutaan orang, tapi bekerja dengan komunitas kecil akan lebih mudah karena itu isu yang betul-betul kita ketahui,
AKTOR/AKTIVIS LINGKUNGAN
Selasa siang, 3 Juni 2025, aula Morrissey Hotel Jakarta dipenuhi oleh semangat kolaborasi lintas sektor dalam acara “Cerita untuk Cipta: Dari Narasi Menjadi Aksi.” Diselenggarakan oleh Purpose Indonesia, acara ini menjadi ruang temu berbagai pemangku kepentingan dari sektor masyarakat sipil, pemerintah, filantropi, akademisi, hingga pelaku usaha yang percaya bahwa perubahan sosial dan lingkungan di Indonesia hanya dapat terwujud melalui kekuatan cerita.
Acara ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan perayaan atas perjalanan Purpose selama lima tahun bermitra dengan lebih dari 100 organisasi untuk membangun gerakan sosial berbasis komunitas. Melalui pameran inisiatif, dua sesi pleno bertema komunikasi publik dan digital, breakout session, hingga pertunjukan seni, Purpose menegaskan bahwa narasi empatik adalah jantung dari gerakan yang berdampak.

Longgena Ginting, Indonesia Country Director Purpose
“Komunikasi yang efektif harus menyentuh sisi emosional, bukan hanya rasional,” ujar Dr. Yanuar Nugroho, pendiri NALAR Institute dan dosen filsafat, saat sesi pleno pertama. Ia mengkritik kecenderungan populisme yang menyederhanakan isu kompleks menjadi sentimen emosional. Menurutnya, disonansi kognitif akibat informasi yang saling bertentangan hanya bisa dijembatani oleh narasi yang empatik dan jujur.
Suara serupa datang dari Evi Mariani, Pemimpin Umum Project Multatuli, yang menyoroti ketimpangan dalam ekosistem informasi. “Ada banjir informasi, tapi juga kekeringan isu-isu yang diabaikan”. Beliau menambahkan bahwa tantangannya adalah menyuarakan yang sunyi, memperkuat yang tak terdengar. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi strategis antar aktor masyarakat sipil, menyebut kekuatan kolektif sebagai kunci gerakan yang berkelanjutan.
Michelle Winowatan dari Purpose menambahkan bahwa disinformasi dan kebisingan digital kini menjadi hambatan besar bagi gerakan sosial. Ia menjelaskan bahwa diperlukan komunikator yang kredibel dan dipercaya. Kepercayaan, menurutnya, bahkan bisa menjadi mata uang yang lebih berharga daripada kebenaran itu sendiri, merujuk pada temuan bahwa masyarakat Muslim Indonesia paling mempercayai pemuka agama dalam isu lingkungan. Beliau juga menenkankan bahwa pendekatan hyperlocal yang memahami konteks komunitas menjadi salah satu kunci dalam strategi Purpose.
Aktor sekaligus aktivis lingkungan Nicholas Saputra menggarisbawahi pentingnya kedekatan isu dengan komunitas. “Memang sulit untuk membuat satu isu spesifik bisa relevan dengan jutaan orang, tapi bekerja dengan komunitas kecil akan lebih mudah karena itu isu yang betul-betul kita ketahui,” jelasnya. Ia juga menerangkan bahwa pola kampanye seperti ini menjadi bentuk antitesis dari dominasi algoritma media sosial.
Longgena Ginting, Indonesia Country Director Purpose, menegaskan bahwa kekuatan komunikasi strategis berbasis narasi adalah senjata utama perubahan sosial. Ia menjelaskan bahwa gerakan sosial adalah nadi perubahan sistemik dan komunikasi yang dibangun secara strategis adalah senjatanya”. Ia juga menegaskan bahwa semangat berbagi termasuk didalamnya kegagalan—movement generosity—akan terus menghidupkan gerakan ini.
Acara ini juga menampilkan berbagai inisiatif Purpose yang telah berjalan. Lewat MOSAIC, Purpose mendorong aksi iklim umat melalui Sedekah Energi dan Wakaf Hutan. Di Jogja, mereka menginisiasi kampanye “Jogja Lebih Bike,” dan di Bali, proyek “Kembali Becik” menjadi langkah konkret menuju pariwisata rendah emisi. Di bidang kesehatan, ada Klinik Misninformasi, sedangkan di ranah politik, kampanye #PilahPilih mengajak generasi muda memperjuangkan isu lingkungan melalui saluran demokrasi.
Acara ini menegaskan bahwa ketika komunikasi menyentuh hati, gerakan pun menemukan daya hidupnya. Dari cerita lahir kesadaran. Dari kesadaran tumbuh keberanian. Dan dari keberanian, tercipta perubahan. Inilah semangat yang dibawa “Cerita untuk Cipta”—bahwa setiap kata bisa menjadi langkah, dan setiap langkah bisa mengubah dunia.